Suku Minangkabau

00.32 Edit This 1 Comment »

MINANGKABAU

Orang Minangkabau merupakan penduduk asal kawasan yang kini dikenali sebagai Sumatra Barat di Indonesia. Kebudayaan mereka adalah bersifat keibuan (matrilineal), dengan harta dan tanah diwariskan dari ibu kepada anak perempuan, sementara urusan ugama dan politik merupakan urusan kaum lelaki (walaupun sesetengah wanita turut memainkan peranan penting dalam bidang ini). Kini sekitar 4 juta orang Minang tinggal di Sumatra Barat, sementara lagi 3 juta berada di kebanyakan bandar dan pekan di Indonesia.

Walaupun suku Minangkabau kuat dalam pegangan agama Islam, mereka juga kuat dalam mengamalkan amalan turun-temurun yang digelar adat. Beberapa unsur adat Minangkabau berasal dari fahaman animisme dan agama Hindu yang telah lama bertapak sebelum kedatangan Islam. Walaubagaimanapun, pengaruh agama Islam masih kuat di dalam adat Minangkabau, seperti yang tercatat di dalam pepatah mereka, Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah, yang bermaksud, adat (Minangkabau) bersendi hukum Islam dan hukum Islam bersendi Al Qur'an.

Perkataan Minangkabau merupakan gabungan dua perkataan, iaitu, minang yang bermaksud "menang" dan kabau untuk "kerbau". Menurut lagenda, nama ini diperolehi daripada peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu. Untuk mengelakkan diri mereka daripada berperang, rakyat Minangkabau mencadangkan pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan menonjolkan seekor kerbau yang besar dan ganas. Rakyat setempat pula hanya menonjolkan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan tanduk yang telah ditajamkan. Semasa peraduan, si anak kerbau yang kelaparan dengan tidak sengaja merodok tanduknya di perut kerbau itu kerana ingin mencari puting susu untuk meghilangkan kelaparannya. Kerbau yang ganas itu mati dan rakyat tempatan berjaya menyelesaikan pergelutan tanah dengan cara yang aman.

Bumbung rumah adat Minangkabau yang dipanggil Rumah Gadang, (Rumah Besar) memiliki rupa bentuk yang unik kerana ia menyerupai tanduk kerbau.

Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat matrilineal yang terbesar di dunia, di mana harta pusaka diwaris menerusi nasab sebelah ibu. Beberapa ahli fikir berpendapat bahawa adat inilah yang menyebabkan ramai kaum lelaki Minangkabau untuk merantau di serata Nusantara untuk mencari ilmu atau mencari kemewahan dengan berdagang. Kanak-kanak lelaki semuda 7 tahun selalunya akan meninggalkan rumah mereka untuk tinggal di surau di mana merka diajarkan ilmu agama dan adat Minangkabau. Apabila remaja pula, mereka digalakkan untuk meninggalkan perkampungan mereka untuk menimba ilmu di sekolah atau menimba pengalaman daripada luar kampung dengan harapan yang mereka akan pulang sebagai seorang dewasa yang lebih matang dan bertanggungjawab kepada keluarga dan nagari (kampung halaman).

Tradisi ini berhasil mendirikan beberapa masyarakat rantauan Minangkabau di bandar dan tempat-tempat lain di Indonesia. Namun ikatan mereka dengan Ranah Awak (Tanah Minang) masih disimpan dan dikuatkan lagi. Satu contoh kawasan yang didiami oleh masyarakat Minangkabau dan masih mengamalkan adat dan budaya Minangkabau adalah Negeri Sembilan di Malaysia.

Selain daripada dikenali sebagai orang pedagang, masyarakat Minang juga berjaya melahirkan beberapa penyair, penulis, negarawan, ahli fikir dan para ulama. Ini mungkin terjadi kerana budaya mereka yang memberatkan penimbaan ilmu pengetahuan. Sebagai penganut agama Islam yang kuat, mereka cenderung kepada idea untuk menggabungkan ciri-ciri Islam dalam masyarakat yang moden. Selain itu, peranan yang dimainkan oleh para cendekiawan bersama dengan semangat bangga orang Minang dengan identiti mereka menjadikan Tanah Minangkabau, iaitu, Sumatra Barat, sebagai sebuah kuasa utama dalam pergerakan kemerdekaan di Indonesia.

Masyarakat Minang, terbahagi kepada beberapa buah suku, iaitu, Suku Piliang, Bodi Caniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Malayu dan Jambak. Kadang-kadang juga, keluarga yang sesuku tinggal dalam satu rumah besar yang dipanggil Rumah Gadang. Penggunaan bahasa Indonesia berleluasa di kalangan masyarakat Minang, tetapi mereka masih boleh bertutur dalam bahasa ibunda mereka, iaitu, bahasa Minangkabau. Bahasa Minangkabau mempunyai perkataan yang serupa dengan bahasa Melayu tetapi berbeza dari segi sebutan dan juga tatabahasa hingga menjadikannya unik dari bahasa Melayu.

Salah satu aspek terkenal mengenai orang Minang adalah makanan tradisional mereka seperti rendang, Soto Padang (makanan sup), Sate Padang dan Dendeng Balado (daging dendeng berlada). Restoran Minangkabau yang sering digelar "Restoran Padang" dapat dijumpai di merata Indonesia dan di negara-negara jiran yang lain.

Masyarakat Minangkabau (Matriarchaat) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Pembagian masyarakat dalam suku-suku (Inggris: clan) yang dirunut dari garis ibu (matrilineal). Suku-suku yang ada dalam budaya Minangkabau misalnya Koto, Piliang, Pisang, Panyalai, Tanjung, Melayu, Banuampu, Jambak, Chaniago, Pasubayang dan lain sebagainya
  2. Keluarga adalah keluarga besar yang tinggal di Rumah Gadang (biasanya dalam bentuk rumah bagonjong) dan dikepalai oleh perempuan atau nenek tertua yang disebut Niniak (nenek) yang mempunyai wewenang mengatur urusan keluarga/Rumah Gadang.
  3. Saudara laki-laki dan perempuan dari Bunda yang melahirkan yang bertanggung jawab untuk membantu niniak dalam mengurus seluruh anak-anak di rumah gadang (keluarga besar) disebut dengan Mamak). Oleh karen itulah pengertian daripada kelompok kata Niniak Mamak adalah kesatuan daripada pengertian daripada kata Niniak dan Mamak yang merupakan orang-orang yang bertanggung jawab untuk seluruh keluarga dalam rumah gadang. Oleh orang-orang Minangkabau yang berusaha menghilangkan peran Niniak, kata Niniak Mamak selalu ditekankan kepada pengertian Mamak saja.Walupun kata bagian Niniak tetap dipakai. Pengertian Mamak kemudian ditekankan hanya kepada pengetian saudara laki-laki Ibu saja. Kemudian pengertian Mamak ini dipersempit lagi menjadi saudara laki-laki Bunda yang berfungsi “sebagai ayah”.Ini merupakan salah satu bentuk daripada usaha penghancuran budaya Minangkabau “dari dalam”, yaitu penterjemahan tata cara dan filsafat Minangkabau ke bentuk yang lebih “modern” atau dengan kata lainnya ke bentuk “patriarkal”.
  4. Kata Ibu tidak hanya terbatas pada Ibu yang melahirkan kita saja, melainkan juga saudara-saudara perempuan Ibu lainnya dari nenek yang sama. Saudara perempuan Ibu yang tertua misalnya akan dipanggil dengan sebutan Mak Uwo (Ibu yang tertua), saudara perempuan Ibu diantara yang tertua dan yang termuda akan dipanggil Mak Angah atau Mak Tengah
  5. Seluruh anak-anak yang dilahirkan oleh saudara perempuan Ibu adalah juga adik dan kakak. Tidak ada istilah sepupu. Seluruh saudara (Minangkabau: Dunsanak) perempuan akan dipanggil Uni dan yang laki-laki uda atau ajo. Sedangkan saudara-saudara yang lebih muda akan dipanggil hanya dengan sebutan adiak.
  6. Perkawinan biasanya dalam bentuk “perkawinan berkunjung”. Dimana pihak laki-laki mendatangi pihak perempuan hanya pada malam hari sampai pagi menjelang. Sedangkan sisa hari-hari seorang laki-laki akan dihabiskan di rumah Ibunya, di tempat kerja ataupun untuk kegiatan lainnya. Pilihan lainnya adalah pihak laki-laki tinggal di rumah keluarga istrinya. Perkawinan Minangkabau menganut dasar perkawinan “eksogam” berdasarkan pengertian Barat. Artinya pihak laki-laki berasal daripada suku (klan) lainnya. Dalam pengertian Minangkabau, hal ini tidak berarti “eksogam” melainkan perkawinan dengan bukan keluarga, karena orang yang berasal dari suku (klan) yang sama adalah juga keluarga, karena mempunyai Niniak atau Niniak dari Niniak yang sama dan seterusnya. Aturan ini sudah banyak dilanggar oleh orang Minangkabau sendiri yang membenci budaya Minangkabau, tentu saja dengan memakai dasar “Islam”, yaitu garis bapak (patrilineal).
  7. Anak yang dilahirkan digolongkan ke dalam suku Ibunya dan akan dinamakan berdasarkan nama suku Ibunya. Banyak orang Minangkabau yang karena mengikuti “trend” atau “modernitas” berusaha mengabaikan hal ini. Banyak perempuan mengikuti perempuan-perempuan barat atau lainnya dan menempelkan nama akhir suami atau bapak di akhir namanya, dan bukan nama suku Bundanya. Banyak laki-laki Minangkabau yang memberikan nama akhirnya kepada istri dan anaknya, walupun hal itu tidak mempunyai makna apa-apa selain mengikuti “trend barat” dan “modernitas”. Nama suku Minangkabau adalah pilar daripada ke-Minang-an dan tata cara kemasyarakatan Minangkabau. Hal inipun diperangi tidak saja oleh orang Minangkabau sendiri, oleh budaya Arab, oleh negara Indonesia dengan peraturan mengenai hanya “nama bapak dan suami” yang harus dan boleh dicantumkan, maupun oleh orang-orang Indonesia lainnya yang “kebarat-baratan”.
  8. Budaya yang egaliter dan demokratis. Minangkabau dikenal masyarakat yang sangat egaliter dan demokratis. Prof. Dr. Nurcholish Madjid bahkan mengusulkan model Demokrasi Minangkabau untuk dijadikan sebagai model Demokrasi Indonesia. Keputusan mengenai masalah-masalah dalam keluarga besar dan dalam masyarakat Minangkabau diambil melalui Mupakaik (konsensus) setelah melalui perundingan panjang yang melibatkan semua pihak (musyawaraih). Orang Minangkabau berbangga apabila sengketa bisa diselesaikan lewat jalur perundingan yang egaliter dan demokratis ini dan bukannya melalui pengadilan dengan pengacara-pengacaranya yang jelas berpihak kepada yang beruang dan yang berkuasa. Contohnya tidak usah jauh-jauh, kasus pencurian besar-besaran oleh Suharto, yang melibatkan pengacara-pengacara mahal yang akhirnya memenangkan Suharto.
  9. Pengambilan keputusan adalah demokratis dan melibatkan semua pihak, perempuan, laki-laki, tua dan muda. Semua dapat menyuarakan pendapatnya. Sejak zaman dulukala sampi zaman Cyber,orang Minangkabau dapat menyalurkan pemikirannya yang menyangkut masalah-masalah masyarakat Minangkabau, baik di ranah Bundo Kanduang maupun di rantau, tanpa membeda-bedakan perempuan atau laki-laki, tua ataupun muda, miskin ataupun kaya, dsb
  10. Masyarakat yang tidak mengenal tingkatan dan penggolong-golongan (hirarki) dan tidak mempunyai klas penguasa. Dengan peribahasanya Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi masyarakat Minangkabau menyatakan bahwa seluruh manusia adalah berada pada tingkat yang sama, tidak ada yang diperbudak atau yang memperbudak (lit. tidak ada yang duduk lebih tinggi (penguasa, raja dll) dan kelompok yang bukan penguasa/raja yang duduk lebih di bawah. Karena itulah budaya ngesot seperti yang dilakukan oleh abdi dalem di keraton Yogyakarta terhadap Sultan Yogyakarta, sang pengusasa Kesultanan Yogyakarta, atau budaya membungkuk-bungkukkan badan di hadapan penguasa lainnya seperti Suharto, raja dan ratu di Eropa serta Paus di Vatican, tidak dikenal dan tidak disukai di Minangkabau karena melambangkan ketertindasan, mental budak dan tingkatan yang lebih rendah dan hina. Istilah lainnya adalah “berpunggung lurus” yang berarti seperti di atas, yaitu tidak mau membungkuk-bungkuk di depan penguasa, karena setiap manusia adalah setara. Contoh nyata adalah Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia (ingat buku Naar de Republjik Indonesia atau Menuju Republik Indonesia yang keluar pada tahun 1922, 23 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia), yang menurut Muhamad Hatta, berpunggung lurus di depan Stalin, “sang penguasa komunis”.
  11. Masyarakat yang tidak mengenal budaya kekerasan dan perang. Tidak mempunyai klas tukang perang/ksatria dan tidak mengenal budaya pembentukan tentara/ksatria/tukang perang. Walaupun pengaruh-pengaruh dari masyarakat patriarchaat, yang memiliki kasta ksatria/tentara/tukang perang sangat besar, misalnya dari budaya Islam yang patriarchaat, Jepang, Inggris, Belanda dan Jawa yang semuanya berbudaya patriarchaat yang pernah mempengaruhi budaya Minangkabau. Masyarakat Minangkabau tidak memiliki kasta ksatria sebagai bagian dari organisasi masyarakat Minangkabau itu sendiri, melainkan sebagai pengaruh dari berbagai macam ragam budaya patriarchaat yang berusaha menghancurkan budaya Minangkabau yang Matriarchaat. Pembentukan tukang perang pada zaman penyerangan kelompok Padri yang diilhami oleh kelompok Islam radikal dari Aceh yang dipengaruhi oleh kelompok Islam radikal di Aceh dan di Saudi Arabia, adalah salah satu contoh peristiwa sementara yang dialami masyarakat Minangkabau dalam persentuhannya dengan budaya patriarchaat dunia yang bersifat memerangi, merampok dan menghancurkan, apapun agama ataupun ideologinya.
  12. Memuja seorang seorang Ibu Suci yang dipuja sebagai Ibu Asal dari masyarakat Minangkabau yang dikenal sebagai Bundo Kanduang. Dengan masuknya berbagai pengaruh budaya patriarchaat baik dengan jalan kekerasan seperti penyerangan Padri (Arab/Islam), usaha penjajahan Belanda, Inggris, Jepang dan Amerika Serikat serta pemaksaan budaya patriarchaat Jawa lewat diktator-diktator seperi Sukarno dan Suharto, maupun dengan jalan “damai” seperti usaha misionaris dari kaum Kristen yg berlangsung selama ini, pemujaan Bundo Kanduang mulai semakin hilang, walupun sebagian banyak masyarakat Minangkabau masih memuja Bundo Kanduang. Mereka diperangi dan dimusuhi oleh masyarakat Minangkabau sendiri -yang sudah menganggap Islam sebagai agama mutlak mereka-, maupun oleh masyarakat Islam lainnya di Indonesia
  13. Tidak mengenal konsep “kepemilikan pribadi”, melainkan kepemilikan bersama dalam keluarga. Karena itulah Harato Pusako (dan semestinya juga harato lainnya) seperti tanah, sawah, dll merupakan milik keluarga dengan kepemilikan diturunkan dari pihak Ibu kepada anak perempuannya ataupun pihak perempuan lainnya dalam keluarga besar. Akan tetapi seluruh anggota keluarga mempunyai hak guna. Adapun hasil-hasil dari harta pusaka tersebut akan diadministrasi oleh pihak perempuan dewasa atau Niniak (Indon. nenek) untuk kepentingan seluruh anggota keluarga
  14. Pihak laki-laki (dan juga perempuan) di dalam suku yang dipilih untuk mewakili suku dalam kepentingan pembicaraan antar suku dan urusan-urusan “ke luar suku” lainnya dikenal dengan nama Panghulu. Panghulu bukanlah kepala suku (Inggris: chief atau chieftain) seperti biasa digembar-gemborkan oleh orang barat yang tidak terbiasa dengan tata cara masyarakat yang tidak mengenal kepala-kepala dan tingkatan-tingkatan dalam masyarakat, melainkan adalah perwakilan daripada suku. Panghulu haruslah dapat mewakili kepentingan suku dalam pembicaraan-pembicaraan antar masyarakat. Adapun keputusannya tetaplah dicapai melalui perundingan pnjang yang diakhiri dengan kesepakatan bersama. Posisi penghulu ini oleh banyak pihaksengaja dipersempit menjadi hanya berlaku untuk laki-laki saja, walaupun dalam sejarahnya Minangkabau mengenal penghulu-penghulu perempuan. Sama halnya dengan posisi penghulu yang semestinya hanya sebagai perwakilan dari kaum, dipaksakan untuk berubah fungsi menjadi “kepala/penguasa” suku, seperti yang dilakukan oleh penjajah Belanda dulu, dan penguasa-penguasa Islam (yang umumnya adalh laki-laki Minangkabau) jaman kini.
  15. Tidak mempunyai kelompok penguasa agama. Para Malin Kundang Minangkabau yang mencoba menjadi penguasa agama di Minankabau sejak zamah syech-syech seperti Syech Achmad Chatib, fundamentalis Wahabi seperti “Imam” Bonjol, dan HAMKA, menemui jalan buntu. Untuk mengakomodasi kelompok Malin Kundang Islam ini, orang Minangkabau membentuk kelompok baru yang disebut kelompok Alim-Ulama yang merupakan tiruan daripada kelompok Cadiak-Pandai (cerdik-pandai), yang berarti kira-kira sama cuma ditekankan ke pada kepandaian dan kecerdikan mengenai pengetahuan mengenai agama Islam (Alim, Ulama, Ilmu adalah kata-kata yang berasal dari kata Arab yang berarti tahu/pengetahuan). HAMKA yang berupaya “merevolusi” budaya matrilineal Minangkabau tetap saja menemui jalan buntu. Dia dihargai di ranah Minang karena fungsinya sebagai penulis puisi dan sastrawan.

Agama

Kebanyakkan orang apabila diberitahu bahawa masyarakat Minang merupakan penganut Islam yang kuat merasa bingung kerana anggapan mereka ialah sebuah masyarakat yang mengikut sistem saka (matriarchal) akan sering berselisih dengan fahaman Islam yang lebih patriarchal. Namun sebenarnya, terdapat banyak persamaan di antara fahaman Islam dan Minangkabau (lebih lagi pada masa kini) sehingga menjadi sukar untuk orang Minang membezakan satu daripada lain.

Seperti contoh:

  • Fahaman Islam: Menimba ilmu adalah wajib.

Fahaman Minangkabau: Anak-anak lelaki mesti meninggalkan rumah mereka untuk tinggal dan belajar dengan di surau (langgar, masjid).

  • Fahaman Islam: Mengembara adalah digalakkan untuk mempelajari dari tamadun-tamadun yang kekal dan binasa untuk meningkatkan iman kepada Allah.

Fahaman Minangkabau: Remaja mesti merantau (meninggalkan kampung halaman) untuk menimba ilmu dan bertemu dengan orang dari berbagai tempat untuk mencapai kebijaksanaan, dan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Falsafah merantau juga bererti melatih orang Minang untuk hidup berdikari, kerana ketika seorang pemuda Minang berniat merantau meninggalkan kampungnya, dia hanya membawa bekal seadanya.

  • Fahaman Islam: Tiada wanita yang boleh dipaksa untuk berkahwin dengan lelaki yang dia tidak mahu berkahwin.

Fahaman Minangkabau: Wanita menentukan dengan siapa yang mereka ingin berkahwin.

  • Fahaman Islam: Ibu berhak dihormati 3 kali lebih dari bapa.

Fahaman Minangkabau: Bundo Kanduang adalah pemimpin/pengambil keputusan di Rumah Gadang.


1 komentar:

you'll never walk alone mengatakan...

bkn'a minang berasal dr kt mainag yg artinya menimang....sy bc tu di sebuah buku........ long jalehakn banang'o da!!